
Sebuah Cerita Pendek dari Rohimul Hadi
“Hey, kau! Bagaimana kabarmu? Ke mana saja? Dari tadi tak ada kabar.”
Dia tak menggubris. Melirik pun tidak. Hanya menunduk, fokus pada segelas susu cokelat di depannya.
“Bagaimana kabar bapak dan ibumu di rumah?” tanyaku lagi.
Dia menatapku tajam. Ada sesuatu yang tersembunyi di dalam dadanya.
“Klutuk-klutuk…” bunyi sendok yang berbenturan dengan gelas.
Dia hanya mengaduk-aduk cokelatnya. Tak menyentuhnya sedikit pun.
——
Aku mengajaknya bertemu saat dia ada di Jogja. Jarang-jarang dia ke sini sejak kuliah di Surabaya. Katanya, dia datang untuk menghadiri pernikahan sepupunya.
“Nana, ketemuan yuk,” pesanku lewat DM.
Satu dua jam berlalu, aku bolak-balik mengecek HP. Tapi yang muncul hanya notifikasi grup WhatsApp yang malas kubuka. Tak ada balasan darinya. Aku menunggu… dan terus menunggu. Kami memang sudah lama tak saling berkabar. Aku hanya bisa melihatnya dari story Instagram—walau tanpa kata, setidaknya wajahnya sedikit mengobati rinduku.
Hari berganti.
Pagi menyongsong. Mentari menyapa, mengajak semua makhluk untuk mulai beraktivitas. Aku duduk di balkon rumah, seperti biasa, ditemani secangkir teh hangat. Kubuka HP, masih berharap ada balasan darinya.
“Yuks…” jawabnya singkat, padat, jelas. Tapi cukup membuatku tersenyum.
“Mau ketemu kapan? Di mana?” tanyaku lagi.
Lagi-lagi harus menunggu. Setidaknya, ada harapan untuk bertemu langsung setelah sekian lama tak berjumpa.
Yang sedikit membuatku kesal, dia termasuk tipe perempuan yang lama membalas chat. Beberapa menit, kadang jam. Singkat pula. Walau tak semua perempuan begitu, tapi tetap saja, menyebalkan rasanya.
Tiga puluh lima menit dua belas detik kemudian, pesan masuk:
“Terserah mas deh, aku ngikut.”
Lumayan, kali ini agak panjang.
“Ketemu di kafe aja yah. Nanti jam dua siang.”
Dadaku mulai berdebar. Aku membayangkan wajah cantiknya menyapa dengan senyum manis. Enam jam menunggu terasa begitu lama. Tapi waktu tetap berjalan konstan, tak bisa diajak kompromi.
Pukul delapan pagi. Tapi belum ada konfirmasi. Lima menit kuhabiskan menatap layar HP. Gelisah.
“Ya…” Balasan singkat lagi. Tapi setidaknya itu jawaban.
“Huft…” Aku menghela napas lega. Selebrasi kecil dalam hati.
“Oke. Nanti jam dua di kafe, lantai dua,” balasku.
Aku duduk di pojok lantai dua. Sudah ada segelas cokelat panas dan roti panggang keju di meja. Jam menunjukkan pukul 14.30. Aku sudah menunggunya lebih dari setengah jam. Sudah biasa, aku memang tipe yang datang lebih awal. Aku mencoba menghubunginya. Nihil.
Aku merasa dia berubah sejak kuliah di Surabaya. Dulu, dia yang paling semangat saat aku ajak bertemu. Dulu, dia yang cepat membalas chat. Dulu, dia yang langsung memberitahuku jika tidak bisa datang.
“Mas, maaf, aku gak bisa datang.”
Pesan itu baru datang setelah hampir dua jam menunggu.
“Oh iya, gak apa-apa,” jawabku, walau dalam hati… sesak.
Sudah menunggu lama, tapi akhirnya tak datang juga.
“Trus gimana ini? Kapan kita jadi ketemu, mumpung kamu di Jogja?”
“Besok malam aja, gimana mas?”
“Boleh-boleh. Mau di mana? Jam berapa?”
“Jam delapanan aja. Di kafe dekat rumahmu.”
“Oke, oke.”
Mungkin dia memang sudah tak mencintaiku lagi. Mungkin… aku sudah tidak berarti apa-apa. Rasa ini seperti diinjak-injak oleh sepatu bergerigi.
Jam delapan kurang sepuluh menit, aku sudah sampai. Memesan cokelat panas. Lima belas menit kemudian, dia datang. Tak seperti dulu yang kadang datang lebih dulu. Kini, dia hanya tersenyum tipis. Kami saling menatap. Tapi dia kalah.
“Hey, kau! Bagaimana kabarmu? Ke mana saja? Dari tadi gak ada kabar.”
Diam. Masih menunduk.
“Nana, sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih? Aku merasa makin gak jelas. Di matamu, aku ini siapa?”
Pesanannya datang. Segelas cokelat panas. Sama seperti yang kupesan. Selera kami ternyata masih sama.
“Hubungan apa, mas?”
“Lah… maksudku hubungan kita. Status kita.”
“Mas, aku sama kamu kan cuma teman. Aku udah ada yang punya. Di rumah. Di Surabaya.”
Begitu ringan dia mengucapkan itu. Tanpa beban. Tanpa jeda.
“Terus, selama ini aku bukan apa-apa? Semua kata cinta dan sayangmu itu hanya… angin lalu? Itu yang namanya teman?”
“Udah, mas. Itu sudah lalu. Cobalah sedikit dewasa.”
“Kau tahu… dengan sikapmu itu, ada hati yang kau lukai. Kau pernah bilang ingin menjaga hati untukku. Walau jarak memisahkan. Tapi kau yang mengingkari semuanya.”
Dia hanya terdiam. Aku menatap matanya lekat-lekat. Dia menunduk. Mengaduk-aduk cokelatnya. Lalu mengambil tas di sebelah kursi. Pergi begitu saja. Tanpa kata. Tanpa lirikan.
Memang benar. Segelas cokelat panas dan lampu temaram bisa membuat suasana hati menjadi syahdu… tapi kali ini hanya menyisakan luka. Yang kuharap kabar baik, justru jadi kenangan pahit.
Satu bulan berlalu.
Aku masih belum bisa melupakannya. Kenangan bersamanya masih melekat kuat. Dulu indah, kini hanya luka. Tapi cinta itu… tetap hidup. Walau tak lagi ada harapan.
Pagi datang. Jarum jam masih keras kepala berputar seperti biasa. Aku duduk di balkon, seperti biasa. Teh hangat, asap mengepul, diam bersama pot bunga dan foto-foto dalam bingkai. Tapi pikiranku… tetap padanya.
Tiga tahun berlalu. Tapi luka itu masih menganga. Perasaan ini… masih sama.
Lalu pesan itu datang.
“Mas… ketemuan yuk. Aku lagi di Jogja ini.”
Bagai petir di siang bolong. Jantungku berdetak cepat. Tak percaya.
“Yuk. Kapan? Di mana? Jam berapa?” jawabku penuh semangat.
“Sekarang aja, mas. Di kafe dekat rumahmu. Masih ada kan?”
“Masih,” balasku, kali ini singkat, padat, jelas.
“Yaudah, di sana aja. Aku berangkat dari rumah bude.”
Kafe itu hanya 160 meter dari rumahku. Beberapa langkah lagi. Tempat biasa kami dulu menukar cerita dan kasih sayang.
Segelas cokelat panas sudah ada di depanku. Masih favorit. Dengan dark chocolate yang melelehkan lidah dan hati.
Beberapa menit kemudian, dia datang. Mengenakan baju cokelat muda. Warna favoritnya. Dia masih cantik. Masih… seperti dulu.
Apakah kenangan bisa hidup kembali? Atau hanya luka lama yang kembali menganga?
Aku tak tahu. Tapi yang kutahu, hatiku masih sama: menunggunya, meski dia tak lagi menunggu.
Epilog
Cerita ini menggambarkan perasaan cinta yang tak pernah padam meski telah dikhianati dan dilupakan. Tokoh utama terus menanti seseorang dari masa lalunya yang pernah ia cintai sepenuh hati, meski wanita itu telah memilih jalan hidup yang berbeda. Pertemuan kembali mereka setelah bertahun-tahun membuka luka lama yang belum sembuh. Cerita ini menunjukkan bahwa cinta tak selalu berakhir bahagia, dan kenangan indah bisa berubah menjadi luka yang dalam. Namun, di balik luka itu, ada ketulusan yang diam-diam tetap hidup—meski tak lagi ada harapan untuk kembali.
Terima kasih telah menyelami kisah ini hingga akhir. Jika kamu menikmati alur cerita dan pesan yang tersirat di dalamnya, jangan lewatkan karya-karya menarik lainnya yang penuh makna, kejutan, dan emosi.
Terus ikuti, bagikan ceritanya, dan jadilah bagian dari setiap perjalanan kisah yang akan terus kutulis. Satu cerita berakhir, tapi perjalanan kita baru saja dimulai.
Pingback: Aku Rindu, Aku Ingin Memeluknya - rohimulhadi.net